Satu hal yang saya pelajari ketika menjadi seorang mahasiswa UGM adalah tidak ada yang benar dan yang salah. Terlalu sering kita terperangkap dalam dua pilihan yang dikotomistis: apakah sesuatu benar atau salah, baik atau buruk. Berpikir dualistik akan mengerdilkan kehidupan, sebaliknya berpikir pluralistik dan komparatif membuat kita melihat kebenaran dan kebaikan yang tersebar di sepanjang horizon kehidupan. Inilah Pancasila, inilah kebhinekaan. Sebuah jalan tengah atas inter-kulturasi bangsa Indonesia. Inilah identitas kita sebagai Gadjah Mada Muda. Meminjam kata-kata GusDur: “Keragaman adalah keniscayaan akan hukum Tuhan atas ciptaan-Nya” Karena perbedaan sangat mustahil dihapuskan, maka persatuan tak boleh diartikan penyeragaman. Jiwa Gadjah Mada adalah jiwa yang inklusif. Namun inklusivitas sosial masih belum sepenuhnya tercipta, akibat aktualisasi Pancasila yang belum terlaksana. Kita dapat melafalkan seluruh sila-silanya, namun tanpa penanaman nilainya, kita bagaikan kambing menanduk bukit. Memaknai Pancasila berakar pada pemikiran, pemikiran untuk selalu terbuka, terbuka terhadap perubahan, kalau kata Pak Jokowi, sebuah Revolusi Mental. Dengan memaknai toleransi, kita harus menjadi generasi yang mampu berpikir dan bersikap rasional dan pada akhirnya menumbuhkembangkan kesadaran dan tanggung jawab sosial yang tinggi. Sebuah perubahan memerlukan keberanian dan bagi saya keberanian yang terpenting adalah “Berani Untuk Gagal”.
Saya ingin bertanya kepada teman-teman gamada 2017:
Sekarang bayangkan, ketika kalian menjadi seorang lelaki yang sangat menyukai dunia jurnalistik, namun kalian tidak dapat masuk di Sekolah Tinggi Publistik karena latar belakang kalian yang berasal dari Sekolah Teknik Mesin di Jayapura. Apakah kalian akan beralih dan menguburkan impian kalian? Jika iya, maka kalian tidak akan pernah mengenal sosok seorang Andy F Noya, pembawa Talkshow Kick Andy.
Jika kalian berada di posisi seorang perempuan yang pernah drop out dari bangku SMA dan kemudian berusaha menggeluti dunia bisnis, namun gagal berkali-kali. Apakah kalian akan membiarkan bayangan inferiority complex menghantui diri kalian seumur hidup? Jika iya, maka kalian tidak akan pernah mengenal sosok Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Bahkan seorang Nadiem Makarim mengalami masa dimana perusahaannya menjadi zombie, vakum selama setahun lebih dan bahkan terancam tutup sebelum akhirnya dikenal luas sebagai PT Gojek Indonesia.
Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa setiap orang mempunyai kisah hidup versinya masing-masing. Yang terlihat dalam permukaan adalah keberhasilan seseorang, namun sayangnya meninggalkan misteri kegagalan yang tidak terungkap. Dibalik sebuah cerita sukses, pasti terdapat rentetan kegagalan. Beberapa hal yang saya pelajari selama menjadi mahasiswa adalah “Bukan absennya kegagalan yang melahirkan sebuah kesuksesan, akan tetapi respon kita terhadap kegagalan-lah yang menjadikan kita seseorang yang berhasil.” Kegagalan berulang kali telah mengajarkan saya untuk menjadi mahasiswa yang lebih baik, kegagalan menjadikan saya seorang yang pragmatis, ketika satu pintu tertutup, selalu ada jendela lain yang terbuka. Kegagalan telah membangkitkan tekad dan gairah saya, meningkatkan tingkat disiplin dan kepercayaan diri saya untuk terus berkiprah. Dan saya berani mengatakan bahwa Kegagalan adalah guru terbaik saya.
Teman-teman GAMADA 2017,
Sebagai calon pemimpin bangsa Indonesia, kalian harus mampu menunjukkan karakter kalian sebagai mahasiswa yang unggul, yaitu mahasiswa yang dapat mengimplementasikan ilmu pengetahuan dengan baik dan dilengkapi dengan jiwa kreativitas, pemahaman akan nilai-nilai luhur Pancasila, menjunjung tinggi toleransi antar umat serta memliki karakter kepemimpinan. Mengilhami Pancasila sebagai suatu Paradigma Pembangunan juga berarti pembangunan di sektor sosial dan ekonomi. Indonesia kini telah memasuki suatu fenomena yang disebut Bonus Demografi dan akan mencapai puncaknya pada tahun 2028-2031 sebagaimana diproyeksikan oleh BPS dan Bappenas. Saya dan kalian masuk ke dalam kategori penduduk usia produktif dimana kita yang akan menjadi penopang bagi penduduk usia non-produktif yakni mereka yang berada di usia di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun. Krusialnya, bonus demografi ini hanya akan terjadi 1 kali untuk suatu negara, sehingga ini adalah satu-satunya kesempatan bagi Indonesia untuk meraih peningkatan pemeratan dan kemakmuran bagi rakyatnya.
Pertanyaannya, apakah bonus ini malah akan berubah menjadi jebakan demografis? Sebagai mahasiswa, kita-lah kunci utamanya, sebab yang paling diperlukan oleh Indonesia saat ini adalah kualitas SDM yang mumpuni dengan tingkat produktivitas yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Ketimpangan masih menjadi momok terbesar bagi Indonesia. Dan Ini adalah ancaman besar bagi diskursus dan realisasi Sila ketiga dan Sila kelima Pancasila. Jika saya boleh membuat perbandingan, data dari World Bank perihal pendapatan per kapita penduduk menunjukkan bahwa Malaysia berada di posisi ke-40, Thailand di posisi ke-64 dan Indonesia sangat disayangkan harus menempati posisi ke-89. Ketika kita berpikir secara rasional, hal ini dimungkinkan mengingat wilayah dan kondisi geografis Indonesia yang luas dan sangat beragam dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand. Namun di saat sama, data tersebut juga menggambarkan betapa buruknya ketimpangan pendapatan finansial dari masyarakat Indonesia. Contohnya sangat jelas, pada tahun 2015, pendapatan per kapita terendah ada di NTT dengan nominal sebesar 11,1 juta rupiah per penduduk per tahun sementara yang paling tinggi ada di DKI Jakarta dengan nilai 13x lipat lebih besar yang mencapai angka 142,9 juta rupiah.
Untuk itu, sudah saatnya kita bergerak untuk menyelesaikan permasalahan ketimpangan ini dengan berbekal ilmu kita masing-masing, mari kita lahirkan kreativitas dan inovasi melalui semangat mahapati gadjah mada yang berani untuk gagal, belajar dari kegagalan dan bangkit kembali untuk menyongsong pembangunan Indonesia tanpa melupakan 5 jati diri UGM sebagai universitas Nasional, Universitas Perjuangan, Universitas Pancasila, Universitas Kerakyatan dan Universitas Pusat Kebudayaan.
Sebagai mahasiswa Gadjah Mada, Jadilah Generasi Pencipta yang mengharumkan Indonesia dengan karya. Meminjam kata-kata Najwa Shihab: belajar-lah dari Bung Hatta: seorang pemimpin yang memuliakan pendidikan yang berorientasi pada penyiapan pemimpin-pemimpin selanjutnya. Sifat Bung Hatta ini mengingatkan saya akan cerita seorang lelaki dengan seekor kupu-kupu, lekaki tersebut melihat seekor kupu-kupu yang berusaha keras untuk keluar dari kepompong-nya, ia merasa terkesima dan juga risih disaat yang sama. Ia kemudian meninggalkan kepompong tersebut dengan harapan setelah ia kembali, sang kupu-kupu sudah akan berhasil terbang keluar. Ketika ia kembali, kupu-kupu tersebut masih berusaha untuk keluar dari lubang kepompong-nya. Merasa cemas, lelaki itu kemudian merobek selaput kepompongnya dan kupu-kupu tersebut berhasil untuk keluar. Dengan terkejut, kupu-kupu tersebut memiliki sayap yang cacat dan bengkok. Ternyata, lelaki yang tergesa-gesa itu tidak menyadari bahwa proses pergulatan kupu-kupu untuk keluar dari kepompong merupakan proses alami yang harus dilalui untuk mengalirkan cairan ke bagian sayap agar kupu-kupu itu dapat terbang sempurna. Teman-teman, Menjadi pemimpin bukanlah tentang diri kita sendiri, menjadi pemimpin adalah tentang mendidik dan membina mereka yang kelak akan menjadi pemimpin untuk dapat menyelesaikan permasalahan mereka sendiri. Untuk itu saya menantang kalian, pemimpin masa depan Indonesia untuk selalu bertanya terhadap diri kalian masing-masing, apakah saya diuntungkan? atau ini murni untuk mereka? Akhir kata sebuah pepatah mengatakan: Beri seseorang seekor ikan dan anda memberinya makan untuk sehari; mengajari seseorang untuk menangkap ikan dan anda memberinya makan seumur hidup.
Saya Wyncent Halim, Dari UGM untuk Indonesia. Salam Pancasila.