Citra Cahya Adhieni, Rahmayanti, dan Akhmad Khanif merupakan tiga mahasiswa dibalik penelitian berjudul Subak Era Turistifikasi: Dilema Kelompok Subak Dalam Mempertahankan Kearifan Lokal di Bali. Penelitian sosial humaniora yang mereka usung ini menyumbang dua medali emas dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional ke-32 Tahun 2019.
Ditemui redaksi Kreativitas, Rahmayanti menuturkan perjuangan timnya. Rahmayanti yang akrab disapa Ryanti, mengutarakan bahwa penelitian ini dilatarbelakangi oleh wacana pencabutan status Subak sebagai warisan budaya dunia. Adanya pembangunan helipad merusak keaslian situs yang berlokasi di Jatiluwih, Tabanan.
Subak diakui sebagai warisan budaya dunia karena eksistensi lembaga pertanian Subak, sistem Subak yang menerapkan konsep Tri Hita Karana (THK), dan lanskap persawahan Subak yang berisikan muatan aktivitas budaya. Konsep THK mencakup tiga nilai yaitu parahyangan sebagai perwujudan harmoni kepada Tuhan Yang Maha Esa, pawongan sebagai perwujudan harmoni antar sesama anggota Subak, dan palemahan berupa lahan sawah dan irigasi sebagai implementasi hubungan harmonis dengan alam.
“Kami ingin membedakan dengan penelitian sebelumnya yang belum pernah mengkaji secara resiliens atau faktor internal kelompok Subak. Dengan penelitian ini, kami berharap suara kelompok Subak lebih didengar, kesejahteraan mereka lebih diprioritaskan, dan Subak tetap lestari,” terang Ryanti yang merupakan Mahasiswa Berprestasi Fakultas Psikologi UGM.
Dibawah bimbingan Drs. Pande Made Kutanegara, M.Si., Ph.D., mereka melakukan pengambilan data selama sekitar dua minggu di Desa Sayan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Observasi langsung dijalankan dengan mengamati dan mengikuti aktivitas keseharian petani seperti proses ngayah (pembalikan tanah) dan upacara adat keagamaan feodalan di Pura Masceti. Selain itu, wawancara mendalam dilakukan terhadap beberapa informan seperti Pekaseh (Pimpinan Subak), petani, ahli Subak, akademisi, serta Dinas Pariwisata dan Pertanian.
“Dilema yang dialami kelompok Subak terjadi akibat pengaruh sosial berupa pembangunan infrastruktur pariwisata, disisi lain kelompok Subak memiliki boundary maintenance sebagai kewajiban atas kepercayaan yang mereka anut seperti konsep tanah catu yaitu pemuliaan tanah leluhur yang harus dijaga. Ketika mereka menjual atau mengalihkan lahan, mereka akan mendapat karmaphala (hasil perbuatan) yang harus ditanggung,” jelas gadis asal Serang itu.
Resiliensi kelompok Subak yang lemah membutuhkan solusi. Timnya menyajikan strategi S4S “Stakeholders Synergy for Sustainability of Subak” yang menargetkan kerjasama berbagai stakeholders yakni pemerintah, kelompok Subak, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi, maupun peneliti. Sinergi dan tanggung jawab dari stakeholders tersebut diharapkan akan menciptakan sustainable tourims dan menjaga eksistensi Subak.
Ryanti mengakui kekompakan tim merupakan kunci utama kesuksesan timnya. Kemudian, diperlukan adanya pembagian tugas, latihan intensif, dan evaluasi berkala. Saat Pimnas, mereka juga mencoba untuk menampilkan presentasi yang berbeda.
“Citra membawakan Tari Tani Bali sebagai pembuka dalam presentasi kita. Kita bener-bener membawa nuansa Bali dalam presentasi kita. Kita juga menggunakan baju adat Bali dan membawa canang saat presentasi,” kenang Ryanti.
Presentasi mereka betul-betul menggugah hati para juri. Terbukti dengan medali emas kategori presentasi yang berhasil mereka sabet. Tak hanya itu, mereka juga sukses meraih medali emas kategori poster.
“Every journey begins with single step. Walaupun sulit, banyak yang meragukan, dan kita nggak pernah tahu hasilnya bakal gimana, proses itu akan berakhir manis atau perlu dicoba lagi. Proses itu memberikan pengalaman yang nggak bisa kita dapatkan di kelas,” pungkas Ryanti. (krm/nfs)