Pembangunan akomodasi wisata telah menyebar ke seluruh daerah di pulau Bali seiring dengan meningkatnya kunjungan wisatawan. Namun, Desa Tenganan Pegringsingan sebagai salah satu desa wisata yang memiliki daya tarik pariwisata yang tinggi di Kabupaten Karangasem, Bali tidak memiliki akomodasi wisata sama sekali, baik berupa hotel, resort, maupun homestay.
Di tengah hegemoni pembangunan akomodasi pariwisata, desa wisata Tenganan Pegringsingan yang dihuni oleh masyarakat Bali Aga atau Bali asli memilih untuk bertahan melalui dresta larangan akomodasi wisata. Dresta larangan akomodasi wisata menjadi kesepakatan bersama masyarakat adat untuk melarang pembangunan akomodasi wisata dalam bentuk apapun dan komersialisasi lahan untuk pariwisata. Jika ditelusuri lebih jauh dresta larangan ini berkaitan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat serta upayanya untuk mempertahankan kebudayaan dan kedaulatannya.
Keunikan tersebut mendorong Tim PKM-RSH UGM yang terdiri dari empat mahasiswa yaitu I Ketut Aditya Prayoga (Pariwisata, 2021), Luh Putu Sintadewi Jayaswari (Psikologi, 2021), Ida Ayu Purnama Novanka Larasati (Antropologi, 2022) dan Ni Luh Feby Riveranika (Sosiologi, 2021) berusaha meneliti dresta larangan akomodasi wisata Desa Tenganan Pegringsingan secara mendalam. Mereka melakukan penelitian selama 4 bulan dengan metode fenomenologi dan dengan judul penelitian “Dresta Larangan Akomodasi Wisata Berbasis Cultural Survival di Desa Adat Tenganan Pegringsingan Guna Mewujudkan Indigenous Sovereignty”.
Berdasarkan wawancara dengan masyarakat desa adat Tenganan, Aditya Prayoga memberikan penjelasan tentang dresta larangan akomodasi wisata yaitu merupakan salah satu bentuk aturan tidak tertulis yang disepakati bersama oleh masyarakat adat dan didasari oleh nilai-nilai Tri Hita Karana atau tiga keharmonisan hubungan (dengan Tuhan, manusia, dan lingkungan). Nilai-nilai yang terkandung dalam dresta tersebut kemudian menurutnya diterapkan dalam sebuah model kelangsungan budaya.
Lebih lanjut, Novanka Larasati menggunakan roda dalam menganalogikan model kelangsungan budaya dengan dresta sebagai pedoman dalam melindungi keberlangsungan unsur-unsur kebudayaan masyarakat adat. Dresta larangan akomodasi wisata digambarkan sebagai bagian poros roda sehingga roda tetap bisa berputar di tengah gempuran jalan yang mulai tidak stabil dan berubah. Tidak hanya itu, menurutnya dalam jangka panjang dresta tersebut juga berperan untuk melindungi kedaulatan masyarakat adat.
Sementara Sintadewi Jayaswari menambahkan “Sebenarnya dresta larangan akomodasi wisata termasuk ke dalam Desa Dresta dalam pembagian Catur Dresta yaitu menekankan pada desa mawa cara yang artinya desa memiliki aturannya sendiri,” ujar Sinta pada Rabu (12/10).
Berdasarkan temuan dan analisis, Feby Riveranika kemudian menyimpulkan bahwa dresta larangan akomodasi wisata masyarakat Desa Adat Tenganan merupakan wujud dari kedaulatan masyarakat adat dalam menentukan nasibnya sendiri dalam mengelola sumber daya yang dimiliki. Namun lebih jauh dari itu, dresta larangan akomodasi wisata yang berbasis kelangsungan budaya dan dilandasi oleh nilai-nilai kearifan lokal pada akhirnya berperan sekaligus sebagai pemertahanan kedaulatan masyarakat adat.
“Oleh karena itu, penting untuk memahami masyarakat adat secara lebih mendalam sebelum dipaksakan atau dihegemoni untuk mengikuti pembangunan modern” tambah Aditya Prayoga sebagai penutup.
Penulis: Tim PKM
Foto: Tim PKM